Rabu, 29 Oktober 2014

TERJEMAH QAWA'IDUL I'LAL ILMU SHOROF ( LENGKAP)


19 KAIDAH I'LAL ILMU SHOROF
KAIDAH KE 1
إذَا تَحَرَّكَتِ الْوَاوُ وَالْيَاءُ بَعْدَ فَتْحَةٍ مُتَّصِلَةٍ فِيْ كَلِمَتَيْهِمَا أُبْدِلَتَا آلِفًا مِثْلُ صَانَ أَصْلُهُ صَوَنَ وَبَاعَ أَصْلُهُ بَيَعَ. 
Apabilah ada Wawu atau Yya’ berharkah, jatuh sesudah harkah Fathah dalam satu kalimah, maka Wawu atau Ya’ tsb harus diganti dengan Alif seperti contoh صَانَ asalnya صَوَنَ , dan بَاعَ asalnya بَيَعَ .
Praktek I’lal :
صَانَ asalnya صَوَنَ ikut pada wazan فَعَلَ. Wawu diganti Alif karena ia berharkah dan sebelumnya ada Huruf berharkah Fathah, maka menjadi صَانَ.
بَاعَ asalnya بَيَعَ ikut pada wazan فَعَلَ. Ya’ diganti Alif karena ia berharkah dan sebelumnya ada Huruf berharkah Fathah, maka menjadi بَاعَ.
غَزَا asalnya غَزَوَ ikut pada wazan فَعَلَ. Wawu diganti Alif karena ia berharkah dan sebelumnya ada Huruf berharkah Fathah, maka menjadi غزا.
رَمَىْ asalnya رَمَيَ ikut pada wazan فَعَلَ. Ya’ diganti Alif karena ia berharkah dan sebelumnya ada Huruf berharkah Fathah, maka menjadi رَمَيَ. (*Alif pada lafazh رَمَىْ dinamakan Alif Layyinah).
Perhatian:
  1. Kaidah ini berlaku pada Wau atau Ya’ dengan Harkah asli. Apabila harkah keduanya bukan asli atau baru, maka tidak boleh dirubah. Contoh دَعَوُاالْقَوْمَ .
  2. Apabila setelah wawu atau ya’ itu ada huruf mati/sukun, maka diklarifikasikan sbb:
  • Jika Wawu atau Ya’ tsb bukan pada posisi Lam Fi’il, maka tidak boleh di-I’lal, karena dihukumi seperti Huruf Shahih. Contoh: بَيَانٌ, طَوِيْلٌ, خَوَرْنَقٌ.
  • Jika Wawu dan Ya’ tsb berada pada posisi Lam Fi’il, maka tetap berlaku Kaidah I’lal ini. Contoh يَخْشَوْنَ asalnya يَخْشَيُوْنَ . Namun disyaratkan huruf yg mati/sukun setelah Wawu dan Ya’ tsb bukan huruf Alif dan huruf Ya’ tasydid, maka yang demikian juga tidak boleh di-I’lal. Contoh: رَمَيَا, عَلَوِيٌّ, غَزَوَا.

KAIDAH KE 2
إِذَا وَقَعَتِ الْوَاوُ وَالْيَاءُ عَيْنًا مُتَحَرِّكَةً مِنْ أَجْوَفٍ وَكَانَ مَا قَبْلَهُمَا سَاكِنًا صَحِيْحًا نُقِلَتْ حَرْكَتُهُمَا إلىَ مَا قَبْلَهَا, نَحْوُ يَقُوْمُ أَصْلُهُ يَقْوُمُ, يَبِيْعُ أَصْلُهُ يَبْيِعُ.
Apabila wau atau ya’ berharokat berada pada ‘ain fi’il Bina’ Ajwaf dan huruf sebelumnya terdiri dari huruf Shahih yang mati/sukun, maka harakat wawu atau ya’ tsb harus dipindah pada huruf sebelumnya. Contoh: يَقُوْمُ asalnya يَقْوُمُ dan يَبِيْعُ asalnya يَبْيِعُ.
Praktek I’lal:
يَقُوْمُ
يَقُوْمُ asalnya يَقْوُمُ ikut pada wazan يَفْعُلُ . harkah wawu dipindah pada huruf sebelumnya, karena wawu-nya berharkah dan sebelumnya ada huruf shahih yg mati/sukun, untuk menolak beratnya mengucapkannya, maka menjadiيَقُوْمُ
يَبِيْعُ
يَبِيْعُ asalnya يَبْيِعُ ikut pada wazan يَفْعِلُ harkah Ya’ dipindah pada huruf sebelumnya, karena Ya’-nya berharkah dan sebelumnya ada huruf shahih yg mati/sukun, untuk menolak beratnya mengucapkannya, maka menjadi يَبِيْعُ
Perhatian:
Perpindahan Syakal/Harakat/Tasykil/Tanda baca Wau atau Ya’ tersebut dalam Kaidah ini, tidak berlaku apabila setelah Wawu atau Ya’ terdapat Huruf yang di-tasydid-kan. Contoh: يَسْوَدُّ

KAIDAH KE 3
إِذَا وَقَعَتِ الْوَاوُ وَالْيَاءُ بَعْدَ آلِفٍ زَائِدَةٍ أُبْدِلَتَا هَمْزَةً بِشَرْطِ أَنْ تَكُوْنَا عَيْنًا فِيْ اسْمِ الْفَاعِلِ وَطَرَفًا فِيْ مَصْدَرٍ, نَحْوُ صَائِنٌ أَصْلُهُ صَاوِنٌ, سَائِرٌ أَصْلُهُ سَايِرٌ, لِقَاءٌ أَصْلُهُ لِقَايٌ.
Apabila ada wawu atau ya’ jatuh sesudah alif zaidah, maka harus diganti hamzah, dengan syarat wau atau ya’ tersebut berada pada ‘Ain Fi’il kalimah bentuk Isim Fail, atau berada pada akhir kalimah bentuk masdar. Contoh: صَائِنٌ asalnya صَاوِنٌ dan سَائِرٌ asalnya سَايِرٌ dan لِقَاءٌ asalnya لِقَايٌ
Praktek I’lal:
صَائِنٌ
صَائِنٌ asalnya صَاوِنٌ ikut pada wazan فَاعِلٌ . wawu diganti Hamzah, karena jatuh sesudah Alif Zaidah dan berada pada ‘Ain Fi’il Isim Fa’il, maka menjadi صَائِنٌ
سَائِرٌ
سَائِرٌ asalnya سَايِرٌ ikut pada wazan فَاعِلٌ . Ya’ diganti Hamzah, karena jatuh sesudah Alif Zaidah dan berada pada ‘Ain Fi’il Isim Fa’il, maka menjadi سَائِرٌ
عَطَاءٌ
عَطَاءٌ asalnya عَطَاوٌ ikut pada wazan فَعَالٌ wawu diganti Hamzah, karena jatuh sesudah Alif Zaidah dan berada pada akhir kalimah Isim Masdar, maka menjadi عَطَاءٌ .
لِقَاءٌ
لِقَاءٌ asalnya لِقَايٌ ikut pada wazan فِعَالٌ Ya’ diganti Hamzah, karena jatuh sesudah Alif Zaidah dan berada pada akhir kalimah Isim Masdar, maka menjadi لِقَاءٌ . 

KAIDAH KE 4
إِذَا اجْتَمَعَتِ الْوَاوُ وَالْيَاءُ فِيْ كَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ وَسَبَقَتْ اِحْدَاهُمَا بِالسُّكُوْنِ اُبْدِلَتِ الْوَاوُ يَاءً وَاُدْغِمَتِ الْيَاءُ اْلأُوْلَى فِي الثَّانِيَّةِ نَحْوُ مَيِّتٌ أَصْلُهُ مَيْوِتٌ وَمَرْمِيٌّ أَصْلُهُ مَرْمُوْيٌ.
Apabila wau dan ya’ berkumpul dalam satu kalimah dan salah satunya didahului dengan sukun, maka wau diganti ya’. Kemudian ya’ yang pertama di-idgham-kan pada ya’ yang kedua. Contoh lafadz مَيِّتٌ asalnya adalah مَيْوِتٌ dan مَرْمِيٌّ asalanya adalah مَرْمُوْيٌ 
Praktek I’lal:
مَيِّتٌ
مَيِّتٌ asalnya مَيْوِتٌ mengikuti wazan فَيْعِلٌ . wau diganti ya’ karena berkumpul dalam satu kalimah dan salah satunya didahului dengan sukun, maka menjadi مَيْيِتٌ. Kemudian ya’ yang pertama di-idghamkan pada ya’ yang kedua karena satu jenis, maka menjadi مَيِّتٌ
مَرْمِيٌّ
مَرْمِيٌّ asalnya مَرْمُوْيٌ mengikuti wazan مَفْعُوْلٌ . wau diganti ya’ karena berkumpul dalam satu kalimah dan salah satunya didahului dengan sukun, maka menjadi مَرْمُيْيٌ. Kemudian ya’ yang pertama di-idghamkan pada ya’ yang kedua karena satu jenis, maka menjadi مَرْمِيٌّ
KAIDAH KE 5
إِذَا تَطَرَّفَتِ الْوَاوُ وَالْيَاءُ وَكَانَتَا مَضْمُوْمَةً اُسْكِنَتَا نَحْوُ يَغْزُوْا أَصْلُهُ يَغْزُوُ وَيَرْمِيْ أَصْلُهُ يَرْمِيُ
Apabila Wau atau Ya’ menempati ujung akhir kalimah, dan ber-harakah dhammah, maka disukunkan. Contoh: يَغْزُوْا asalnya يَغْزُوُ dan يَرْمِيْ asalnya يَرْمِيُ 
Praktek I’lal:
يَغْزُوْ
يَغْزُوْ asalnya يَغْزُوُ mengikuti wazan يَفْعُلُ . Wau di ujung akhir kalimah ber-harakah dhammah, maka disukunkan menjadi يَغْزُوْ.
يَرْمِيْ
يَرْمِيْ asalnya يَرْمِيُ mengikuti wazan يَفْعُلُ . Ya’ di ujung akhir kalimah ber-harkah dhammah, maka disukunkan menjadi يَرْمِيْ.
Perhatian:
غَازٍ
غَازٍ asalnya غَازِوٌ mengikuti wazan فَاعِلٌ . Wau diganti Ya’, karena jatuh sesudah harakah kasrah, maka menjadi غَازِيٌ, kemudan Ya’ disukunkan karena beratnya harkah dhammah atas Ya’ maka menjadi غَازٍيْ, kemudian Ya’ dibuang untuk menolak bertemunya dua mati yaitu Ya’ dan Tanwin, maka menjadi غَازٍ
سَارٍ
سَارٍ asalnya سَارِيٌ mengikuti wazan فَاعِلٌ . Ya’ disukunkan karena beratnya harakah dhammah atas Ya’ maka menjadi سَارٍيْ, kemudian Ya’ dibuang untuk menolak bertemunya dua mati yaitu Ya’ dan Tanwin, maka menjadi سَارٍ
اَوَاقٍ
اَوَاقٍ asalnya وَوَاقِيُ mengikuti wazan فَوَاعِلُ wau pada fa’ fi’il diganti Hamzah, karena kedua wau berkumpul dalam satu kalimah, maka menjadi اَوَاقِيْ. Kemudian Ya’ dibuang untuk meringankannya, maka menjadi اَوَاقِ. Dan didatangkanlah tanwin sebagai pengganti dari Ya’ yang dibuang, maka menjadi اَوَاقٍ.

KAIDEAH KE 6
اِذَا وَقَعَتِ الْوَاوُ رَابِعَةً فَصَاعِدًا فِي الطَّرْفِ وَلَمْ يَكُنْ مَا قَبْلَهَا مَضْمُوْمًا أُبْدِلَتِ الْوَاوُ يَاءً نَحْوُ يُزَكِّيْ أَصْلُهُ يُزَكِّوُ وَ يُعَاطِيْ أَصْلُهُ يُعَاطِوُ
Apabila wau menempati ujung akhir kalimah empat huruf atau lebih, dan sebelum wau tidak ada huruf yang didhammahkan, maka wau tsb diganti ya’. Contoh: يُزَكِّيْ asalnya يُزَكِّوُ dan يُعَاطِيْ asalnya يُعَاطِوُ.
Praktek I’lal:
يُزَكِّيْ
يُزَكِّيْ asalnya يُزَكِّوُ mengikuti wazan يُفَعِّلُ wau diganti ya’, karena berada pada akhir kalimah empat huruf dan sebelumnya bukan huruf yang didhammahkan, maka menjadi يُزَكِّيْ
يُعَاطِيْ
يُعَاطِيْ asalnya يُعَاطِوُ mengikuti wazan يُفَاعِلُ wau diganti ya’, karena berada pada akhir kalimah empat huruf dan sebelumnya bukan huruf yang didhammahkan, maka menjadi يُعَاطِيْ
Perhatian:
مَعْطًى
مَعْطًى asalnya مُعْطَوًا ikut wazan مًفْعَلاً . wau diganti ya’, karena berada pada akhir kalimah empat huruf dan sebelumnya bukan huruf yang didhammahkan, maka menjadi مُعْطَيًاkemudian ya’ diganti alif karena berharkah jatuh sesudah harkah fathah, maka menjadiمُعْطًىاْ kemudian alif dibuang untuk menolak bertemunya dua mati yaitu Alif dan Tanwin, maka menjadi مَعْطًى

KAIDAH KE 7
اِذَا وَقَعَتِ الْوَاوُ بَيْنَ الْفَتْحَةِ وَالْكَسْرَةِ الْمُحَقَّقَةِ وَقَبْلَهَا حَرْفُ الْمُضَارَعَةِ تُحْذَفْ نَحْوُ يَعِدُ أَصْلُهُ يَوْعِدُ و يَئِدُ أَصْلُهُ يَوْئِدُ 
Apabila wau ada diantara harkah fathah dan kasrah nyata, dan sebelumnya ada huruf mudhara’ah, maka wau tersebut dibuang. Contoh: يَعِدُ asalnya يَوْعِدُ dan يَئِدُ asalnya يَوْئِدُ
Praktek I’lal:
يَعِدُ 
يَعِدُ asalnya يَوْعِدُ mengikuti wazan يَفَعِلُ . wau dibuang karena ada diantara fathah dan kasrah nyata dan sebelumnya ada huruf mudhara’ah, maka menjadi يَعِدُ
يَضَعُ 
يَضَعُ asalnya يَوْضِعُ mengikuti wazan يَفَعِلُ . wau dibuang karena ada diantara fathah dan kasrah nyata dan sebelumnya ada huruf mudhara’ah, maka menjadi يَضِعُ. Kemudian Dhad-nya difathahkan untuk meringankan huruf ithbaq juga huruf Halaq yaitu ‘Ain, maka menjadi يَضَعُ
Perhatian:
  • Huruf Mudhara’ah : أ – ن – ي – ت
  • Huruf Halaq : أ – ح – خ – ع – غ – هـ
  • Huruf Ithbaq : ص – ض – ط – ظ

KAIDAH KE 8
إذَا وَقَعَتِ الْوَاوُ بَعْدَ كَسْرَة فِيْ اسْمٍ أوْ فِعْلٍ أُبْدِلَتْ يَاءً نَحْوُ يُزَكِّيْ أَصْلُهُ يُزَكِّوُ وَ غَازٍ أَصْلُهُ غَازِوٌ
Bilmana ada Wau jatuh setelah harkah Kasrah dalam Kalimah Isim atau Kalimah Fi’il, maka Wau tersebut harus diganti Ya’. Contoh: يُزَكِّيْ asalnya يُزَكِّوُ dan غَازٍ asalnya غَازِوٌ
Praktek I’lal:
يُزَكِّيْ
يُزَكِّيْ asalnya يُزَكِّوُ ikut wazan يُفَعِّلُ , wau diganti Ya’ karena jatuh sesudah harkah kasrah, maka menjadi يُزَكِّيْ
غَازِ
غَازِ asalnya غَازِوٌ (praktek I’lalnya telah disebut pada Kaidah I’lal ke 5)


KAIDAH KE 9
إذَا لَقِيَتِ الْوَاوُ وَالْيَاءُ السَّاكِنَتَانِ بحَرْفٍ سَاكِنٍ آخَرَ حُذِفَتَا بَعْدَ اَنْ نُقِلَتْ حَرْكَتُهُمَا اِلَى مَا قَبْلَهُمَا نَحْوُ صُنْ أَصْلُهُ أُصْوُنْ وَ سِرْ أَصْلُهُ اِسْيِرْ.
Bilamana ada Wau atau Ya’ sukun, bertemu dengan husuf sukun lainnya, maka Wau tau Ya’ tersebut dibuang, ini setelah memindahkan harakah keduanya (Wau atau Ya’) kepada huruf sebelumnya (lihat kaidah I’lal ke 2). Contoh: صُنْ asalnya أُصْوُنْ dan سِرْ asalnya اِسْيِرْ
Praktek I’lal:
صُنْ
صُنْ asalnya أُصْوُنْ mengikuti wazan اُفْعُلْ, harkah Wau dipindah ke huruf sebelumnya, karena Wau berharkah dan sebelumnya ada huruf shahih mati/sukun (lihat Kaidah I’lal ke 2) untuk menolak beratnya mengucapkan, maka menjadi اُصُوْنْ, maka Wau dibuang untuk menolak bertemunya dua mati/sukun, maka menjadi اُصُنْ, kemudian Hamzah Washal-nya dibuang karena tidak dibutuhkan lagi, maka menjadi صُنْ
سِرْ
سِرْ asalnya اِسْيِرْ mengikuti wazan اِفْعِلْ, harkah Ya’ dipindah ke huruf sebelumnya, karena Ya’ berharkah dan sebelumnya ada huruf shahih mati/sukun (lihat Kaidah I’lal ke 2) untuk menolak beratnya mengucapkan, maka menjadi اِسِيْرْ, maka Ya’ dibuang untuk menolak bertemunya dua mati/sukun, maka menjadi اِسِرْ, kemudian Hamzah Washal-nya dibuang karena tidak dibutuhkan lagi, maka menjadi سِرْ

KAIDAH KE 10
ِاِذَا اجْتَمَعَ فِيْ كَلِمَةٍ حَرْفَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ أَوْ مُتَقَارِبَانِ فِي الْمَخْرَجِ يُدْغِم اْلأَوَّلُ فِي الثَّانِيْ بَعْدَ جَعْلِ الْمُتَقَارِبَيْن مِثْلَ الثَّانِيْ لِثَقْلِ الْمُكَرَّرِ نَحْوُ مَدَّ أصْلُهُ مَدَدَ وَ مُدِّ أَصْلُهُ اُمْدُدْ وَ اتَّصَلَ أَصْلُهُ اِوْتَصَلَ
Bilamana ada dua huruf sejenis atau hampir sama makhrajnya berkumpul dalam satu kalimah, maka huruf yang pertama harus di-idghamkan pada huruf yang kedua,–ini setelah menjadikan huruf yang hampir sama makhrajnya serupa dengan huruf yg kedua (lihat kaidah i’lal ke 18 insyaallah)–, karena beratnya pengulangan/memilah-milahnya. contoh مَدَّ asalnya مَدَدَ dan مُدِّ asalnya اُمْدُدْ, dan اتَّصَلَ asalnya اِوْتَصَلَ.
Praktek I’lal:
مَدَّ
مَدَّ asalnya مَدَدَ ikut pada wazan فَعَلَ, huruf dal yang pertama disukunkan untuk melaksanakan syarat Idgham, maka menjadi مَدْدَ, kemudian huruf Dal yang pertama di-idgamkan pada huruf Dal yang kedua, maka menjadi مَدَّ
مُدِّ/مُدَّ/مُدُّ
مُدِّ/مُدَّ/مُدُّ asalnya اُمْدُدْ mengikuti wazan اُفْعُلْ, harkah Dal yang pertama dipindah pada huruf sebelumnya untuk melaksanakan syarat Idgham, maka menjadi اُمُدْدْ, bertemu dua huruf mati/sukun yaitu kedua Dal, maka Dal yang kedua diberi harkah untuk menolak bertemunya dua mati/sukun, baik diberi harkah kasrah karena kaidah; “apabilah ada huruf mati mau diberi harkah, berilah harkah kasrah”. atau diberi harkah fathah karena ia paling ringannya harkah. atau diberi harkah dhammah, karena mengikuti harkah ‘Ain fi’il pada fi’il mudhari’nya, maka menjadi اُمُدْدِ/اُمُدْدَ/اُمُدْدُ, kemudian Dal yang pertama di-idgham-kan pada Dal yg kedua maka menjadi اُمُدِّ/اُمُدَّ/اُمُدُّ, kemudian Hamzah Washal-nya dibuang karena sudah tidak dibutuhkan lagi, maka menjadi مُدِّ/مُدَّ/مُدُّ.

اتَّصَلَ
Praktek I’lal untuk lafazh اتَّصَلَ ada pada Kaidah I’lal ke 18, InsyaAllah. tunggu update.

KAIDAH KE 11
الْهَمْزَتَانِ اِذَا الْتَقَتَا فِيْ كَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ ثَانِيَتُهُمَا سَاكِنَةٌ وَجَبَ اِبْدَالُ الثّانِيَةِ بِحَرْفٍ نَاسَبَ اِلَى حَرْكَةِ اْلأُوْلَىْ نَحْوُ آمَنَ اَصْلُهُ أَأْمَنَ وَ أُوْمُلْ اَصْلُهُ أُؤْمُلْ وَ اِيْدِمْ اَصْلُهُ إِئْدِمْ.
Bilamana terdapat dua huruf Hamzah berkumpul sejajar dalam satu kalimah, yang nomor dua sukun, maka huruf hamzah ini harus diganti dengan huruf yang sesuai dengan harakah Hamzah yang pertama. contoh آمن asalnya أأمن dan أومل asalnya أؤمل.
Praktek I’lal:
آمَنَ
َآمَن asalnya أَأْمَنَ mengikuti wazan أَفْعَلَ; berkumpul dua Hamzah dalam satu kalimah dan yang kedua sukun, maka hamzah yang kedua tsb diganti alif, karena ia sukun dan sebelumnya ber-harkah fathah. maka menjadi آمَنَ
أُوْمُلْ
ْأُوْمُل asalnya أُؤْمُل mengikuti wazan أُفْعُلْ; berkumpul dua Hamzah dalam satu kalimah dan yang kedua sukun, maka hamzah yang kedua tsb diganti wau, karena ia sukun dan sebelumnya ber-harkah dhammah. maka menjadi أُوْمُل
اِيْدِمْ
ْاِيْدِم asalnya إئْدِم mengikuti wazan اِفْعِلْ berkumpul dua Hamzah dalam satu kalimah dan yang kedua sukun, maka hamzah yang kedua tsb diganti Ya’, karena ia sukun dan sebelumnya ber-harkah kasrah. maka menjadi اِيْدِم.
خُذْ
خُذْ asalnya أُأْخُذ mengikuti wazan أُفْعُلْ; berkumpul dua Hamzah dalam satu kalimah dan yang kedua sukun, maka hamzah yang kedua tsb diganti wau, karena ia sukun dan sebelumnya ber-harkah dhammah. maka menjadi أُوْخُذ kemudian wau-nya dibuang untuk meringankan ucapan, maka menjadai أُخُذ selanjutnya hamzah-nya dibuang karena sudah tidak dibutuhkan lagi, maka menjadi خُذْ
Perhatian :
Wau pada lafazh أُوْخُذ dibuang untuk meringankan ucapan, sedangkan pada lafazh أُوْمُل cukup tanpa membuang wau, karena menjaga dari keserupaan dengan fi’il amar-nya lafazh مَالَ – يَمُوْلُ – مُلْ .

KAIDAH KE 12
إِنَّ الْوَاوَ وَالْيَاءَ السَّاكِنَتَيْنِ لاَ تُبْدَلاَنِ آلِفًا إِلاَّ إِذَا كَانَ سُكُوْنُهُمَا غَيْرَ أَصْلِيٍّ بِأَنْ نُقِلَتْ حَرْكَتُهُمُا اِلَى مَا قَبْلَهُمَا نَحْوُ أَجَابَ أَصْلُهُ أَجْوَبَ وَ أَبَانَ أَصْلُهُ أَبْيَنَ.
Wau atau ya’ yang sukun, keduanya tidak boleh diganti Alif, kecuali jika sukunnya tidak asli –dengan sebab pergantian harkat keduanya pada huruf sebelumnya– (lihat kaidah ilal ke 2). Contoh: أَجَابَ asalnya أَجْوَبَ dan أَبَانَ asalnya أَبْيَنَ.
Praktek I’lal:
أَجَابَ
أَجَابَ asalnya أَجْوَبَ mengikuti wazan أَفْعَلَ harkah wau dipindah pada huruf sebelumnya karena ia berharkah dan sebelumnya ada huruf shahih sukun, karena beratnya mengucapkan, maka menjadi أَجَوْبَ (lihat kaidah I’lal ke 2). Kemudian wau diganti alif, karena asalnya wau berharkah dan sekarang ia jatuh sesudah harkah fathah (lihat kaidah I’lal ke 1). Maka menjadi أَجَابَ.
أَبَانَ
أَبَانَ asalnya أَبْيَنَ mengikuti wazan أَفْعَلَ harkah Ya’ dipindah pada huruf sebelumnya karena ia berharkah dan sebelumnya ada huruf shahih sukun, karena beratnya mengucapkan, maka menjadi أَبَيَْنَ (lihat kaidah I’lal ke 2). Kemudian Ya’ diganti Alif, karena asalnya Ya’ berharkah dan sekarang ia jatuh sesudah harkah fathah (lihat kaidah I’lal ke 1). Maka menjadi أَبَانَ.

KAIDAH KE 13
إِذَا وَقَعَتِ الْوَاوُ طَرْفًا بَعْدَ ضَمٍّ فِيْ اسْمٍ مُتَمَكِّنٍ فِي اْلأَصْلِ أُبْدِلَتْ يَاءً فَقُلِبَتِ الضَّمَّةُ كَسْرَةً بَعْدَ تَبْدِيْلِ الْوَاوِ يَاءً نَحْوُ تَعَاطِيًا أَصْلُهُ تَعَاطُوًا وَ تَعَدِّيًا أَصْلُهُ تَعَدُّوًا.
Bilamana ada wau berada di akhir kalimah jatuh sesudah harkah dhammah didalam asal kalimah Isim yang Mutamakkin (bisa menerima tanwin), maka wau tsb diganti ya’, kemudian setelah itu harkah dhammah diganti kasrah. Contoh: تَعَاطِيًا asalnya تَعَاطُوًا dan تَعَدِّيًا asalnya تَعَدُّوًا.
Praktek I’lal:
تَعَاطِيًا
تَعَاطِيًا asalnya تَعَاطُوًا mengikuti wazan تَفَاعُلاً wau diganti ya’ karena berada di akhir kalimah Isim Mutamakkin dan sebelumnya ada harkah dhammah, maka menjadi تَعَاطُيًًا kemudian huruf Tha’nya dikasrahkan untuk memantaskan Ya’. Maka menjadi تَعَاطِيًا.
تَعَدِّيًا
تَعَدِّيًا asalnya تَعَدُّوًا mengikuti wazan تَفَاعُلاً wau diganti ya’ karena berada di akhir kalimah Isim Mutamakkin dan sebelumnya ada harkah dhammah, maka menjadi تَعَدُّيًًا kemudian huruf Dal’nya dikasrahkan untuk memantaskan Ya’. Maka menjadi تَعَدِّيًا.

KAIDAH KE 14
إِذَا كَانَتِ الْيَاءُ سَاكِنَةً وَكَانَ مَا قَبْلَهَا مَضْمُوْمًا أُبْدِلَتْ وَاوًا نَحْوُ يُوْسِرُ أَصْلُهُ يُيْسِرُ وَ مُوْسِرٌ أَصْلُهُ مُيْسِرٌ
Bilamana terdapat Ya’ sukun dan sebelumnya ada huruf yang didhammahkan maka ya’ tersebut harus diganti wau. contoh: يُوْسِرُ asalnya يُيْسِرُ dan مُوْسِرٌ asalnya مُيْسِرٌ
Praktek I’lal:
يُوْسِرُ
يُوْسِرُ asalnya يُيْسِرُ mengikuti wazan يُفْعِلُ ya’ yang nomor dua diganti wau karena ia sukun dan sebelumnya ada huruf yang didhammahkan, maka menjadi يُوْسِرُ.
مُوْسِرٌ
مُوْسِرٌ asalnya مُيْسِرٌ mengikuti wazan مُفْعِلٌ  ya’ diganti wau karena ia sukun dan sebelumnya ada huruf yang didhammahkan, maka menjadi مُوْسِرٌ.

KAIDAH KE 15
إِنَّ اسْمَ الْمَفْعُوْلِ إذَا كَانََََ مِنْ مُعْتَلِّ الْعَيْنِ وَجَبَ حَذْفُ وَاوٍ الْمَفْعُوْلِ مِنْهُ عِنْدَ سِيْبَوَيْهِ  نَحْوُ مَصُوْنٌ أَصْلُهُ مَصْوُوْنٌ وَ مَسِيْرٌ أَصْلُهُ مَسْيُوْرٌ
Sesungguhnya Isim Maf’ul bilamana ia terbuat dari Fi’il Mu’tal ‘Ain (Bina’ Ajwaf) maka wajib membuang wau maf’ulnya menurut Imam Syibawaihi (menurut Imam lain yg dibuang adalah Ain Fi’ilnya). contoh: مَصُوْنٌ  asalnya مَصْوُوْنٌ  dan مَسِيْرٌ  asalnya مَسْيُوْرٌ
Praktek I’lal:
مَصُوْنٌ
مَصُوْنٌ  asalnya مَصْوُوْنٌ  mengikuti wazan مَفْعُوْلٌ harkah wau dipindah pada huruf sebelumnya karena ia berharkah dan sebelum ada huruf shahih mati untuk menolak berat maka menjadi مَصُوْوْنٌ (lihat i’lal ke 2), kemudian bertemu dua huruf mati (dua wau) untuk menolak beratnya mengucapkan maka wau maf’ulnya dibuang (menurut Imam Sibawaehi) maka menjadi مَصُوْنٌ  .
مَسِيْرٌ
مَسِيْرٌ  asalnya مَسْيُوْرٌ mengikuti wazan مَفْعُوْلٌ harkah Ya’ dipindah pada huruf sebelumnya karena ia berharkah dan sebelum ada huruf shahih mati untuk menolak berat maka menjadi مَسُيْوْرٌ (lihat i’lal ke 2), kemudian bertemu dua huruf mati (ya’ dan wau) untuk menolak beratnya mengucapkan maka wau maf’ulnya dibuang (menurut Imam Sibawaehi)maka menjadi مَسِيْرٌ  .

KAIDAH KE 16
إِذَا كَانَ الْفَاءُ اِفْتَعَلَ صَادًا أَوْ ضَادًا أَوْ طَاءً أَوْ ظَاءً قُلِبَتْ تَاؤُهُ طَاءً لِتَعَسُّرِ النَّطْقِ بِهَا بَعْدَ هَذِهِ الْحُرُوْفِ وَإِنَّمَا تُقْلَبُ التَّاءُ بِالطَّاءِ لِقُرْبِهِمَا مَخْرَجًا نَحْوُ اِصْطَلَحَ أَصْلُهُ اِصْتَلَحَ وَ اِضْطَرَبَ أَصْلُهُ اِضْتَرَبَ.
Bilamana Fa’ Fi’il kalimah wazan اِفْتَعَلَ berupa huruf Shad, atau Dhad, atau Tha’, atau Zha’ (huruf Ithbaq), maka huruf Ta’ yg jatuh sesudah huruf Ithbaq tersebut harus diganti Tha’, demi mudahnya mengucapkannya. Digantinya Ta’ dengan Tha’ karena dekatnya makhraj keduanya. contoh: اِصْطَلَحَ  asalnya اِصْتَلَحَ  dan اِضْطَرَبَ  asalnya اِضْتَرَبَ
Praktek I’lal:
اِصْطَلَحَ
اِصْطَلَحَ asalnya اِصْتَلَحَ mengikuti wazan اِفْتَعَلَ Ta’ diganti Tha’ karena demi mudahnya mengucapkannya setelah jatuh dibelakang huruf Ithbaq dan karena dekatnya makhraj keduanya, maka menjadi اِصْطَلَحَ.
اِضْطَرَبَ
اِضْطَرَبَ asalnya اِضْتَرَبَ mengikuti wazan اِفْتَعَلَ Ta’ diganti Tha’ karena demi mudahnya mengucapkannya setelah jatuh dibelakang huruf Ithbaq dan karena dekatnya makhraj keduanya, maka menjadi اِضْطَرَبَ.
اِطَّرَدَ
اِطَّرَدَ asalnya اِطْتَرَدَ mengikuti wazan اِفْتَعَلَ Ta’ diganti Tha’ karena demi mudahnya mengucapkannya setelah jatuh dibelakang huruf Ithbaq dan karena dekatnya makhraj keduanya, maka menjadi اِطْطَرَدَ kemudian Tha’ pertama di-idghamkan karena dua huruf sejenis, maka menjadi اِطَّرَدَ.
اِظَّهَرَ
اِظَّهَرَ  asalnya اِظتَهَرَ mengikuti wazan اِفْتَعَلَ Ta’ diganti Tha’ karena demi mudahnya mengucapkannya setelah jatuh dibelakang huruf Ithbaq dan karena dekatnya makhraj keduanya, maka menjadi اِظطَهَرَ kemudian Tha’ diganti Zha’ karena sama-sama huruf isti’la’, maka menjadi اِظْظَهَرَ kemudian Zha’ pertama di-idghamkan karena dua huruf sejenis, maka menjadi اِظَّهَرَ.

KAIDAH KE 17
إِذَا كَانَ فَاءُ اِفْتَعَلَ دَالاً أوْ ذَالاً أوْ زَايًا قُلِبَتْ تَاؤُهُ دَالاً لِعُسْرِالنُّطْقِ بِهَا بَعْدَ هَذِهِ الْحُرُوْفِ وَإنَّمَا تُقْلَبُ التَّاءُ بِالدَّالِ لِقُرْبِهِمَا مَخْرَجًا نَحْوُ اِدَّرَأَ أَصْلُهُ اِدْتَرَأَ وَ اِذَّكَرَ أَصْلُهُ اِذْتَكَرَ وَ اِزْدَجَرَ أَصْلُهُ اِزْتَجَرَ.
Bilamana Fa’ Fi’il wazan berupa huruf Dal, atau Dzal, atau Zay, maka huruf Ta’ (Ta’ zaidah wazan اِفْتَعَلَ ) yang jatuh sesudah huruf-huruf tersebut harus diganti Dal, demi mudahnya mengucapkannya. Digantinya Ta’ dengan Dal’ karena dekatnya makhraj keduanya. contoh: اِدَّرَأَ asalnya اِدْتَرَأَ dan اِذَّكَرَ asalnya اِذْتَكَرَ dan اِزْدَجَرَ asalnya اِزْتَجَرَ.
Praktek I’lal:
اِدَّرَأَ
اِدَّرَأَ asalnya اِدْتَرَأَ mengikuti wazan اِفْتَعَلَ Ta’ diganti Dal karena demi mudahnya pengucapan huruf Ta’ yang jatuh susudah huruf Dal dan karena dekatnya makhraj keduanya, maka menjadi اِدْدَرَأَ. kemudian dal yang pertama di-idghamkan pada dal yang kedua karena satu jenis, maka menjadi اِدَّرَأَ.
اِذَّكَرَ
اِذَّكَرَ asalnya اِذْتَكَرَ mengikuti wazan اِفْتَعَلَ Ta’ diganti Dal karena demi mudahnya pengucapan huruf Ta’ yang jatuh susudah huruf Dal dan karena dekatnya makhraj keduanya, maka menjadi اِذْدَكَرَ.kemudian Huruf Dal diganti Dzal kerena dekatnya makhraj keduanya, maka menjadi اِذْذَكَرَ kemudian dzal yang pertama di-idghamkan pada dzal yang kedua karena satu jenis, maka menjadi اِذَّكَرَ. (juga boleh dibaca Dal dengan di-i’lal sbb: kemudian Huruf Dzal diganti Dal kerena dekatnya makhraj keduanya, maka menjadi اِدْدَكَرَ kemudian dal yang pertama di-idghamkan pada dal yang kedua karena satu jenis, maka menjadi اِدَّكَرَ.)
اِزْدَجَرَ
اِزْدَجَرَ asalnya اِزْتَجَرَ mengikuti wazan اِفْتَعَلَ Ta’ diganti Dal karena demi mudahnya pengucapan huruf Ta’ yang jatuh susudah huruf Zay dan karena dekatnya makhraj keduanya, maka menjadi اِزْدَجَرَ.

KAIDAH KE 18
إِذَا كَانَ فَاءُ اِفْتَعَلَ وَاوًا أوْ يَاءً أوْ ثَاءً قُلِبَتْ فَاؤُهُ تَاءً لِعُسْرِالنُّطْقِ بِحَرْفِ اللَّيْنِ السَّاكِنِِ لِمَا بَيْنَهُمَا مِنْ مُقَارَبَةِ الْمَخْرَجِ وَمُنَافَاةِ الْوَصْفِ ِلأَنَّ حَرْفَ اللَّيْنِ مَجْهُوْرَةٌ وَالتَّاءُ مَهْمُوْسَةٌ  نَحْوُ اِتَّصَلَ أَصْلُهُ اِوْتَصَلَ وَ اِتَّسَرَ أَصْلُهُ اِوْتَسَرَ وَ اِتَّغَرَ أَصْلُهُ اِثْتَغَرَ. (مُهِمَةٌ) وَإنْ كَانَتْ ثَاءً يَجُوْزُ قُلْبُ تَاءِ اِفْتَعَلَ ثَاءً ِلاتِّحَادِهِمَا فِي الْمَهْمُوْسِيَّةِ نَحْوُ اِثَّغَرَ أَصْلُهُ اِثْتَغَرَ.
Bilamana Fa’ Fi’il wazan اِفْتَعَلَ berupa huruf wau, atau Ya’, atau Tsa’, maka huruf Fa’ Fi’ilnya tersebut harus diganti Ta’ karena sukarnya mengucapkah huruf “Layn” (لَيْن) sukun dengan huruf yang diantara keduanya termasuk berdekatan Makhrajnya dan bertentangan sifatnya, karena huruf “layin” (و – ي) bersifat Jahr sedangkan huruf Ta’ bersifat Hams. Contoh: اِتَّصَلَ asalnya اِوْتَصَلَ dan اِتَّسَرَ asalnya اِوْتَسَرَ dan اِتَّغَرَ asalnya اِثْتَغَرَ. (penting) dan apabila Fa’ Fi’il-nya tsb berupa huruf Tsa’, boleh mengganti Ta’nya wazan اِفْتَعَلَ dengan Tsa’, karena keduanya sama-sama bersifat Hams. contoh: اِثَّغَرَ asalnya اِثْتَغَرَ.

Praktek I’lal:
اِتَّصَلَ
اِتَّصَلَ asalnya اِوْتَصَلَ mengikuti wazan اِفْتَعَلَ Wau diganti Ta’ untuk mudahnya mengucaplan huruf Layn sukun dengan huruf yang berdekatan Makhrajnya dan bertentangan sifatnya, karena huruf Layn bersifat Jahr dan huruf Ta’ bersifat Hams, maka menjadi اِتْتَصَلَ kemudian Ta’ pertama di-idghamkan pada Ta’ kedua karena dua huruf yang sejenis maka menjadi اِتَّصَلَ.
اِتَّسَرَ
اِتَّسَرَ asalnya اِوْتَسَرَ mengikuti wazan اِفْتَعَلَ Wau diganti Ta’ untuk mudahnya mengucaplan huruf Layn sukun dengan huruf yang berdekatan Makhrajnya dan bertentangan sifatnya, karena huruf Layn bersifat Jahr dan huruf Ta’ bersifat Hams, maka menjadi اِتْتَسَرَ kemudian Ta’ pertama di-idghamkan pada Ta’ kedua karena dua huruf yang sejenis maka menjadi اِتَّسَرَ.
اِتَّغَرَ
اِتَّغَرَ asalnya اِثْتَغَرَ mengikuti wazan اِفْتَعَلَ huruf Tsa’ diganti Ta’ karena sama-sama bersifat Hams, maka menjadi اِتْتَغَرَ kemudian Ta’ pertama di-idghamkan pada Ta’ kedua karena dua huruf yang sejenis maka menjadi اِتَّغَرَ
Dan boleh juga dibaca Tsa’ اِثَّّّّّغَرَ dengan Praktek I’lal sbb:
اِثَّّّّّغَرَ asalnya اِثْتَغَرَ mengikuti wazan اِفْتَعَلَ huruf Ta’ diganti Tsa’ karena sama-sama bersifat Hams, maka menjadi اِثْثَغَرَ kemudian Tsa’ pertama di-idghamkan pada Tsa’ kedua karena dua huruf yang sejenis maka menjadi اِتَّغَرَ

Penting untuk diketahui:
اِتَّخَذَ
اِتَّخَذَ asalnya اِئْتَخَذَ mengikuti wazan اِفْتَعَلَ huruf Hamzah yang kedua diganti Ya’ karena ia sukun dan sebelumnya ada huruf berharkah kasrah, maka menjadi اِيْتَخَذَ kemudian huruf Ya’ diganti Ta’ (tanpa mengikuti kias*) maka menjadi اِتَّخَذَ.
Pergantian Ya’ dengan Ta’ tidak mengikuti Qias yakni termasuk dari perihal Syadz.

KAIDAH KE 19
إذَا كَانَ فَاءُ تَفَعَّلَ وَتَفَاعَلَ تَاءً أَوْ ثَاءً أوْ دَالاً أوْ ذَالاَ أَوْ زَايًا أوْ سِيْنًا أَوْ شِيْنًا أَوْ صَادًا أَوْ ضَادًا أَوْ طَاءً أَوْ ظَاءً يَجُوْزُ قَلْبُ تَائِهِمَا بِمَا يُقَارِبُهُ فِِي الْمَخْرَجِ ثُمَّ أُدْغِمَتِ اْلاُوْلَى فِي الثَّانِيَّةِ بَعْدَ جَعْلِ أَوَّلِ الْمُتَقَارِبَيْنِ مِثْلَ الثَّانِيْ لِلْمُجَانَسَةِ مَعَ اجْتِلاَبِ هَمْزَةِ الْوَصْلِ لِيُمْكِنَ اْلاِبْتِدَاءُ بِالسَّاكِنِ نَحْوُ اِتَّرَسِ أّصْلُهُ تَتَرَّسَ وَاِثَّاقَلَ أّصْلُهُ تَثَاقَلَ وَاِدَّثَّرَ أّصْلُهُ تَدَثَّرَ واِذَّكَّرَ أّصْلُهُ تَذَكَّرَ وَاِزَّجَّرَ أّصْلُهُ تَزَجَّرَ وَاِسَّمَّعَ أّصْلُهُ تَسَمَّعَ وَاِشَّقَّقَ أصله تَشَقَّقَ وَ اِصَّدَّقَ أّصْلُهُ تَصَدَّقَ وَاِضَّرَّعَ أّصْلُهُ تَضَرَّعَ وَاِظَّهَّرَ أّصْلُهُ تَظَهَّرَ وَاِطَّاهَرَ أّصْلُهُ تَطَاهَرَ.
Bilamana Fa’ Fi’il wazan تَفَعَّلَ dan تَفَاعَلَ berupa huruf ت، ث، د، ذ، ز، س, ش, ص، ض, ط, ظ، maka boleh Ta’ dari kedua wazan tersebut diganti dengan huruf yang mendekati dalam Makhrajnya, kemudian huruf yang pertama di-idghamkan pada huruf yang kedua, demikian ini setelah huruf yang pertama dari kedua huruf yang berdekatan makhrajnya tersebut, dijadikan serupa dengan huruf yang kedua. berikut memasang Hamzah Washal agar memungkinkan permulaan dengan huruf mati. contoh: اِتَّرَسِ asalnya  تَتَرَّسَ dan اِثَّاقَلَ asalnya تَثَاقَلَ dan اِدَّثَّرَ asalnya تَدَثَّرَ dan ذَّكَّرَ  asalnya تَذَكَّرَ dan اِزَّجَّرَ asalnya تَزَجَّرَ dan اِسَّمَّعَ asalnya تَسَمَّعَ dan اِشَّقَّقَ  asalnya تَشَقَّقَ dan اِصَّدَّقَ asalnya تَصَدَّقَ dan اِضَّرَّعَ asalnya تَضَرَّعَ  dan اِظَّهَّرَ asalnya تَظَهَّرَ dan اِطَّاهَرَ asalnya تَطَاهَرَ .

Praktek I’lal :
اِتَّرَسَ
اِتَّرَسَ  asalnya تَتَرَّسَ mengikuti wazan تَفَعَّلَ huruf Ta’ yang pertama disukunkan sebagai sebab syarat idgham maka menjadi تْتَرَّسَ maka Ta’ yang pertama di-idghamkan pada Ta’ yang kedua karena dua huruf sejenis, berikut mendatangkan Hamzah di permulaannya agar memungkinkan permulaan dengan huruf mati. Maka menjadi اِتَّرَسَ
اِثَّاقَلَ
اِثَّاقَلَ asalnya تَثَاقَلَ mengikuti wazan تَفَاعَلَ huruf Ta’ diganti Tsa’ karena berdekatan Makhrojnyamaka menjadi ثَثَاقَلَ kemudian huruf Tsa’ yang pertama disukunkan sebagai sebab syarat idgham maka menjadi ثَثَاقَلَ maka Tsa’ yang pertama di-idghamkan pada Tsa’ yang kedua karena dua huruf sejenis, berikut mendatangkan Hamzah di permulaannya agar memungkinkan permulaan dengan huruf mati. Maka menjadi اِثَّاقَلَ
Perhatian :
I’lal dalam Kaidah ke 19 ini cuma bersifat Jaiz atau boleh, bukan suatu ketentuan musti. Sebagai pengalaman bagi kita, karena ini jarang ditemukan. dan yang banyak digunakan adalah berupa bentuk asalnya.
ALHAMDULIILAH TAMAT.


Sabtu, 25 Oktober 2014


Bab Laa Nafi Jenis


لاَ الَّتِي لِنَفِيْ الْجِنْسِ


BAB “LAA” YANG MENIADAKAN ISIM JENIS (LAA LI NAFYIL-JINSI)

عَمَلَ إِنَّ اجْعَلْ لِلا فِي نَكِرَهْ مُفْرَدَةً جَاءتْكَ أَوْ مُكَرَّرَهْ

Jadikanlah seperti amal INNA (menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya) untuk LAA yg beramal pada isim nakirah, baik LAA itu datang kepadamu secara Mufrod (satu kali) atau secara Mukarror (berulang-ulang).
KETERANGAN BAIT KE 1:
“LAA LI NAFYIL JINSI” termasuk bagian dari huruf-huruf nawasikh yg masuk pada mubtada’-khobar dan merusak I’robnya, beramal seperti INNA (menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya). Baik diucapkan dengan satu kali (Mufrod), contoh : “LAA ROJULA” FID-DAARI. Atau diucapkan dengan berulang-ulang (Takrir), contoh: “LAA ROJULA” WA “LAA IMRO’ATA” FID-DAARI. Secara khusus berfungsi meniadakan jenis secara keseluruhan, ini membedakan dengan “LAA LI NAFYIL WAHID” yg beramal seperti LAISA (merofa’kan isimnya dan menashabkan khobarnya).
Syarat pengamalan “LAA LI NAFYIL JINSI” adalah :
1. isim dan khobarnya harus nakiroh.
2. tidak boleh ada fashl/pemisah antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMnya.
3. tidak boleh ada huruf jar masuk pada “LAA LI NAFYIL JINSI”.

فَانْصِبْ بِهَا مُضَافَاً أَوْ مُضَارِعَهْ وَبَعْدَ ذَاكَ الْخَبَرَ اذْكُرْ رَافِعَهْ

Nashabkanlah olehmu sebab “LAA” terhadap isimnya yg Mudhaf atau yg menyerupai Mudhaf . setelah itu sebutkanlah khobarnya dengan merofa’kannya.

وَرَكّبِ الْمُفْرَدَ فَاتِحَاً كَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ وَالْثَّانِ اجْعَلاَ

Tarkibkanlah olehmu (menjadikan satu tarkib antara LAA dan Isimnya) terhadap isimnya yg mufradah (bukan mudhaf/syabihul-mudhaf) dengan menfat-hahkannya (menghukumi mabni fathah karena satu tarkib dengan LAA). Seperti: “LAA-HAULA” wa “LAA-QUWWATA”,
Dan terhadap lafazh yg kedua (dari contoh LAA yg diulang-ulang: (1) “LAA-HAULA” wa (2) “LAA-QUWWATA”) boleh kamu jadikan ia.. (lanjut ke bait 4)

مَرْفُوْعَاً أوْ مَنْصُوباً أوْ مُرَكَّباً وَإِنْ رَفَعْتَ أَوَّلاً لاَ تَنْصِبَا

..dirofa’kan atau dinashabkan atau ditarkib, jika kamu mefofa’kan lafazh yg pertama, maka janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua.
KETERANGAN BAIT 2-3-4:
Ada tiga poin yg menyangkut tentang isimnya “LAA LI NAFYIL JINSI”:
1. berupa Mudhaf (tersusun dari susunan idhafah, mudhaf dan mudahf ilaih)
2. berupa Syabihul-Mudhaf (tersusun dengan kalimah lain baik makmulnya/ta’alluqnya/ma’thufnya dll)
3. berupa Mufradah (bukan mudhaf/syabihul-mudhaf, baik isim mufrod, mutsanna, atau jamak)
> Poin yg no 1 dan 2, dihukumi nashab dengan tanda nashabnya secara zhahir, dinashabkan oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs.
> Poin yg no 3 dihukumi mabni atas tanda I’rab nashabnya, menempati mahal nashab, dinashabkan oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs . Dihukumi mabni karena dijadikan satu tarkib antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan Isimnya.
Apabila setelah “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMNYA terdapat isim ma’thuf yg berupa isim nakirah dan mufrodah, maka hal seperti ini kadangkala LAA tidak diulang dan kadangkala penyebutan LAA diulang pada isim ma’thufnya, contoh

 لا حول ولا قوة إلا بالله (LAA HAWLA WA LAA QUWWATA)
Apabila terdapat ma’thuf dan LAA diulang-ulang seperti itu, maka mencakup tiga bacaan:
BACAAN KE SATU : lafazh yg pertama (ma’thuf alaih) dibaca mabni (apabila mufrodah), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 3 jalan:
1. MABNI, LAA yg kedua juga beramal spt INNA, athaf secara jumlah. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATA
2. NASHAB, Athaf kepada mahal nashab isim LAA, dan LAA yg kedua tidak beramal dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATAN
3. ROFA’, athaf kepada mubtada’ karena “TARKIB LAA DAN ISIMNYA” posisinya sebagai mubtada’, LAA yg kedua tidak beramal dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Atau LAA yg kedua beramal seperti LAISA (merofa’kan isimnya) yg mempunyai faidah sebagai nafi jenis. Atau lafazh yg kedua itu sendiri sebagai Mubtada’ dan LAA yg kedua tidak beramal. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATUN
BACAAN KE DUA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca nashab (apabila mudhaf atau yg menyerupai mudhaf), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) juga boleh dibaca 3 jalan sebagaimana hukum BACAAN KE SATU diatas, yaitu : MABNI, NASHAB dan ROFA’ (untuk rofa’ tidak boleh untuk alasan athaf kepada mubtada’ sebab isimnya berupa mudhaf/syabih mudhaf).
BACAAN KE TIGA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca Rofa’ (apabila LAA diamalkan seperti LAISA atau karena ada illah yg membuat LAA menjadi Muhmal), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 2 jalan: 1. MABNI, karena mufrodah. 2. ROFA’, karena athaf pada isim marfu’, atau karena menjadi mubtada dan LAA dihukumi Zaidah, atau sebagai isimnya LAA yg juga diamalkan seperti LAISA.
Untuk BACAAN KE TIGA ini tidak boleh lafazh yg kedua (ma’thuf) dibaca Nashab sebab status LAA pertama disini bukan sebagai Amil nashab, oleh karenanya dalam bait disebutkan “WA IN ROFA’TA AWWALAN LAA TANSHIBAA” (jika kamu mefofa’kan lafazh yg pertama, maka janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua).

وَمُفْرَدَاً نَعْتَاً لِمَبْنِيّ يَلِي فَافْتَحْ أَوِ انْصِبَنْ أَوِ ارْفَعْ تَعْدِلِ

Terhadap mufrod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yang na’at secara langsung (tanpa ada pemisah) pada isim LAA yg mabni maka fathahkanlah atau nashabkanlah atau rofa’kanlah demikian kamu adil.
KETERANGAN BAIT KE 5
Apabila ada Isim murfod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yg na’at pada isimnya LAA nafi jenis yg mabni, dimana na’atnya mengiringi langsung tanpa pemisah, maka boleh Na’at tsb dibaca tiga wajah:
1. MABNI FATHAH, karena dijadikan satu tarkib berikut berbarengan dengan isimnya LAA. Contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFA
2. NASHAB, karena melihat pada mahal nashab isimnya LAA, contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFAN
3. ROFA’, karena melihat pada mahal rofa tarkib LAA + ISIMnya yg menempati posisi sebagai mubtada. Contoh:
LAA+ROJULA ZHORIIFUN

وَغَيْرَ مَا يَلِي وَغَيْرَ الْمُفْرَدِ لاَ تَبْنِ وَانْصِبْهُ أَوِ الْرَّفْعَ اقْصِدِ

Na’at yg tidak mengiringi langsung (ada pemisah) dan na’at yg tidak mufrad (mudhaf/syabih mudhaf) janganlah kamu memabnikannya, tapi nashabkanlah atau kehendakilah dengan merofa’kannya.
KETERANGAN BAIT KE 6
Isim yg NA’AT pada isimnya LAA NAFI JINSI yg dimabnikan, boleh dibaca 3 wajah (MABNI, NASHAB, ROFA’) demikian ini apabila NA’AT dan ISIM LAA sama-sama mufrodah dan tidak ada pemisah (lihat bait ke 5)
Kemudian, apabila ada pemisah antara NA’AT dan ISIM LAA yg mabni, atau tidak ada pemisah tapi NA’ATnya tidak mufrodah maka boleh dibaca 2 wajah (NASHAB dan ROFA’) dan tidak boleh MABNI. Contoh:
1. LAA ROJULA FIIHAA ZHARIIFAN/ZHARIIFUN (terdapat fashl)
2. LAA ROJULA SHAAHIBA BIRRIN/SHAAHIBU BIRRIN (tdk terdapat fashl tapi na’at tidak mufrodah)

وَالْعَطْفُ إِنْ لَمْ تَتَكَرَّرْ لاَ احْكُمَا لَهُ بِمَا لِلْنَّعْتِ ذِي الْفَصْلِ انْتَمَى

Adapun ‘Athaf, jika LAA tidak diulang-ulang maka hukumilah ma’thufnya dengan hukum yg dinisbatkan pada Na’at yg Fashl (boleh nashab dan rofa’ tidak boleh mabni, lihat bait ke 6).
KETERANGAN BAIT KE 7
Pada bait dahulu dijelaskan (bait ke2-3-4) bahwa apabila setelah isim laa ada isim ma’thuf yg nakirah dan mufrodah, maka penyebutan LAA kadang diulang-ulang kadang tidak.
Nah dalam bait ke 7 ini menerangkan tentang hokum ma’thuf pada isim LAA yg mana LAA tidak diulang-ulang.:
Boleh Ma’thuf disini dihukumi dengan bacaan sebagaimana yg terjadi pada hukum isim yg Na’at pada isim LAA yg terdapat Fashl/pemisah (lihat bait ke 6) yaitu NASHAB dan ROFA, tidak boleh MABNI. Salahsatu contoh:
LAA MUDARRISA WA THOOLIBUN/THOOLIBAN FIL MADROSATI
(rofa = athaf pada mahal rofa tarkib LAA+ISIMNYA sebagai mubtada’| nashab = athaf pada mahal nashab isim LAA)

وَأَعْطِ لاَ مَعْ هَمْزَةِ اسْتِفْهَامِ مَا تَسْتَحِقُّ دُوْنَ الاسْتِفْهَامِ

Beikanlah pada LAA NAFI JINSI yg menyertai HAMZAH ISTIFHAM, dengan hukum yg menhakinya ketika tanpa adanya HAMAZAH ISTIFHAM.
KETERANGAN BAIT KE 8
HAMZAH ISTIFHAM yg masuk pada LAA NFYIL JINSI (A LAA) maka hukumnya berlaku sama sebagaimana ketika belum dimasuki HAMZAH ISTIFHAM seperti hukum Isimnya, khobarnya, Na’at, Ma’thuf, Muhmal ketida LAA diulang-ulang dan sebagainya (lihat bait-bait sebelumnya).
Fungsi utama HAMZAH ISTIFHAM (A) disini adalah: mempertanyakan Nafi, yakni sumber khabar nafi tsb benar atau tidak?. Contoh:
A LAA TAAJIRO SHOODIQUN?
Apakah tidak ada pedagang itu jujur?
Atau HAMZAH ISTIFHAM difungsikan sebagai taubikh (teguran) contoh:
A LAA IHSAANA MINKA WA ANTA GHINIYYUN?
Apakah tidak ada kemurahan darimu sedang kamu adalah orang kaya?

وَشَاعَ فِي ذَا الْبَابِ إِسْقَاطُ الْخَبَرْ إِذَا الْمُرَادُ مَعْ سُقُوْطِهِ ظَهَرْ

Mayoritas penggunaan LAA NAFI JENIS dalam bab ini membuang KHOBAR, bilamamana pengertian yg menyertai pembuangan khobar tsb sudah jelas.
KETERANGAN BAIT KE 9
Apabila ada dalil tentang khobar dari LAA NAFI JENIS maka khobarnya cukup dibuang, pembuangan khobar dalah hal ini mayoritas digunakan. Baik dalil tersebut berupa Maqol (perkataan) contoh orang berkata “HAL MIN ROJULIN HAADHIRIN?” maka cukup dijawab “LAA ROJULA”. (TIDAK SORANG PUN = membuang khobar MUJUUDUN = ADA). Atau dalil tsb berupa hal keadaan contoh seseorang berkata pada orang yg keadaan sakit: “LAA BA’SA” (TIDAK APA-APA, membuang khobar ‘ALAIKA = BUAT MU) .
KESIMPULAN:
Mayoritas penggunaan khobar LAA NAFI JINSI adalah dibuang, demikian ini karena maksud/pengertian dari khobar yg terbuang tsb sudah jelas, dan kejelasan suatu khobar takkan terjadi kecuali adanya dalil.

MACAM-MACAM 'LAA' لا


Macam-macamnya:

1. ناهية (laa naahi)

2. عاطفة (laa 'athof)

3. نافية (laa naafi)

4. نافية عاملة عمل ليس (Naafi yang beramal seperti laisa)

5. نافية للجنس (menafikan jins)

6. حرف جواب (harf jawab)



Penjabaran:

1. laa an naahiyah

== Adalah harf tholabi yang menjazmkan fi'il mudhori'



penyebutan:

a. Li an-Nahy: ketika permintaan dilakukan oleh orang yang derajatnya lebih tinggi ke yang lebih rendah

contoh:

لا تُشْركْ بالله ( لقمان 13 

jangalan engkau mempersekutukan Alloh



ini adalah perkatan luqman kepada anaknya



b. li ad du'a (doa)

Permintaan dilakukan oleh orang yang derajatnya lebih rendah ke yang lebih tinggi

رَبَّنا لا تؤاخذْنا (البقرة 286 )

wahai Tuhanku, janganlah Engkau hukum aku ..



c. li al iltimas

jika derajat peminta dan yang diminta adalah sejajar atau sama



contoh ucapmu kepada temanmu

 
لا ترافق الاشرار

janganlah kau gauli orang yang jahat



Laa an Naahiyah ini menjazmkan fi'il mudhori dengan dua syarat:

1. Keduanya tidak di pisahkan sesuatu kecuali sibh jumlah

2. Laa tidak didahului adat syarat (Jika didahului adat syarat maka statusnya adalah sbg Laa nafii yang tidak menjazmkan)



----

Karakteristik

--------

# dibolehkan membuang fi'il mudhori'nya jika ada dalil. misal

 
كافىءْ طلابَك ما داموا مجتهدين, اي فلا تكافئهم

# wajib membuang fi'il mudhori' yg jatuh setelahnya spt pada contoh:

سكوتا لا كلاما 

اي اسكت سكوتا لا تتكلم كلاما

# Realitanya, fi'il mudhori' yang di jazmkan bina' ma'lumnya menggunakan ta' atau ya', dan mudhori' dg tanda mutakalim pd bina' majhul:

لا يقْعُدْ أحدكم عن الجهاد

لا أُخرَجْ من وطني إلا جثَّةً

# Adapun fiil mudhori yang diawali tanda mutakalim dg bina' ma'lum, jazmnya jarang.



B. Laa harf 'athaf

= adl huruf yang berfaidah meniadakan hukum pada ma'thuf, setelah tetapnya hukum pada ma'thuf tsb.

ينتصر الحقُّ لا الباطلُ



syarat "Laa" sbg huruf athaf

a. ma'thufnya berupa mufrod (bukan jumlah atau sibh jumlah)

b. di dahului kalam mutsbat (bkn manfi), amar, atau nida'

قاصص الكسولَ لا المجتهد

يا بن الأكارمِ لا ابنَ السفلة

c. tidak ada kecocokan antara ma'thuf dan ma'thu alaih:

contoh yang tdk boleh

اشتريتُ حقلا لا أرضا

aku membei lapangan bukanlah bumi.

tidak boleh karena lapangan jg merupan bumi

d. Laa tidak bersamaan dengan harf athaf yang lain 

e. Laa tidak di ulang-ulang



3. Laa an Naafiyah 

= masuk pada fi'il madhi dan wajib ada pengulangan

لا أكَل ولا شَرِبَ

= masuk pada fi'il mudhori', boleh di ulang dan boleh juga tanpa di ulang

زيد لا يأكل

زيد لا يأكل ولا يشربُ

Laa: harf yang tidak beramal, tdk mempunyai mahal i'rob dan mabni sukun



4. Laa nafi yang beramal spt Laisa (laa hijaziyyah: karena anggapan beramalnya hanya menurut ahli hijaz)



Kerjanya:

Merafa'kan mubtada' dan menasabkan khobar



syarat kerjanya:

a. Antara Laa dan isimnya tidak ada pemisah (salain dhorof, jar majrur yang menjadi ma'mulnya khobar)

لا عليك أحد معتدياً

laa: harf nafi, mabni sukun, dan beramal spt laisa

'alaika : ('alaa): harf jar yang terkait (ta'alluq) dg mu'tadiyah, (kaf) : dhomir muttasil, mabni fathah,mahal jar

ahadun: isimnya 'Laa', dirafa'kan dg dhommah

mu'tadiyyan: khobarnya 'laa', dinasabkan dengan fathah.

b. Nafinya tidak di rusak oleh " illaa", karena perusakan nafii akan menjadi mustbat

c. laa tidak di ulang. karena menafikan nafi jadi mutsbat

d. setelahnya tidak tambah إنْ

e. isim dan khobarnya adalah nakiroh:



5. Laa untuk menafikan jinis.

= adl huruf yang masuk pada jumlah ismiyah, beramal seperti "inna", berfungsi menafikan khobar dari jinis yang jatuh setalahnya secara sempurna (tidak ihtimal/ adanya kemungkinan2 lain)



لا رجلَ في الدَّارِ

laa rojula fii ad-Daari

maksudnya:

tidak ada seorangpun (entah satu, dua, atau banyak) yang berada di dalam rumah



--- Apa perbedaannya dengan laa yang beramal sperti laisa



لا رجلٌ في الدار

laa rojulun fi ad-Daari

ini boleh dimaksudkan

laisa ahadun min jinsi ar rijaali fi ad-Daari

dan juga boleh dimaksudkan

laisa rojulun waahidun fi ad-Daari

-----

sementara pd laa li nafyi al jinsi, hanya ada makna penafian jinis secara sempurna



*untuk laa model ini, ada bab sendiri, coba cari pembahasannya di documen*



6. laa al jawaabiyyah

= adalah huruf untuk menafikan jawaban, mabni sukun, dan tidak mpnyai mahal dlm i'rob



أقابلتَ المعلمَ ؟ -لا ,, اي . لا, لم أقابلْه



---Tambahan--->> laa zaidah ﻻ الزائدة الداخلة فى الكلام لمجرد تقويته وتوكيده نحو ما منعك إذ رأيتهم ضلوا أن ﻻ تتبعنى ما منعك أن ﻻ تسجد ويوضحه الآية الأخرى ما منعك أن ﻻ تسج

Tentang Pembuangan "laa"

حذف لا النافية وغيرها يطرد ذلك فى جواب القسم اذا كان المنفى مضارعا نحو تالله تفتؤ تذكر يوسف ويقل مع الماضى كقوله : 

فان شئت آليت بين المقا * م والركن والحجر الاسود 

نسيتك مادام عقلى معى * أمد به أمد السرمد



 ويسهله تقدم ﻻ على القسم كقوله :

فلا والله نادى الحى قومى



وسمع بدون القسم كقوله

وقولى اذا ما أطلقوا عن بعيرهم * يلاقونه حتى يؤوب المنخل 



وقد قيل به فى يبين الله لكم أن تضلوا أى لئلا وقيل المحذوف مضاف أى كراهة أن تضلو


bacaan: al mu'jam al mufassol fi al lughot wa al adab & mugni labib

MACAM-MACAM 'LAA' لا

Minggu, 22 Januari 2012




Bersama: @M Reyan & Fatima Fida
بســــم الله الرحمن الرحيم
لا

Macam-macamnya:
1. ناهية (laa naahi)
2. عاطفة (laa 'athof)
3. نافية (laa naafi)
4. نافية عاملة عمل ليس (Naafi yang beramal seperti laisa)
5. نافية للجنس (menafikan jins)
6. حرف جواب (harf jawab)

Penjabaran:
1. laa an naahiyah
== Adalah harf tholabi yang menjazmkan fi'il mudhori'

penyebutan:
a. Li an-Nahy: ketika permintaan dilakukan oleh orang yang derajatnya lebih tinggi ke yang lebih rendah
contoh:
لا تُشْركْ بالله ( لقمان 13 )
jangalan engkau mempersekutukan Alloh

ini adalah perkatan luqman kepada anaknya

b. li ad du'a (doa)
Permintaan dilakukan oleh orang yang derajatnya lebih rendah ke yang lebih tinggi
رَبَّنا لا تؤاخذْنا (البقرة 286 )
wahai Tuhanku, janganlah Engkau hukum aku ..

c. li al iltimas
jika derajat peminta dan yang diminta adalah sejajar atau sama

contoh ucapmu kepada temanmu
لا ترافق الاشرار
janganlah kau gauli orang yang jahat

Laa an Naahiyah ini menjazmkan fi'il mudhori dengan dua syarat:
1. Keduanya tidak di pisahkan sesuatu kecuali sibh jumlah
2. Laa tidak didahului adat syarat (Jika didahului adat syarat maka statusnya adalah sbg Laa nafii yang tidak menjazmkan)

----
Karakteristik
--------
# dibolehkan membuang fi'il mudhori'nya jika ada dalil. misal
كافىءْ طلابَك ما داموا مجتهدين, اي فلا تكافئهم
# wajib membuang fi'il mudhori' yg jatuh setelahnya spt pada contoh:
سكوتا لا كلاما 
اي اسكت سكوتا لا تتكلم كلاما
# Realitanya, fi'il mudhori' yang di jazmkan bina' ma'lumnya menggunakan ta' atau ya', dan mudhori' dg tanda mutakalim pd bina' majhul:
لا يقْعُدْ أحدكم عن الجهاد
لا أُخرَجْ من وطني إلا جثَّةً
# Adapun fiil mudhori yang diawali tanda mutakalim dg bina' ma'lum, jazmnya jarang.

B. Laa harf 'athaf
= adl huruf yang berfaidah meniadakan hukum pada ma'thuf, setelah tetapnya hukum pada ma'thuf tsb.
ينتصر الحقُّ لا الباطلُ

syarat "Laa" sbg huruf athaf
a. ma'thufnya berupa mufrod (bukan jumlah atau sibh jumlah)
b. di dahului kalam mutsbat (bkn manfi), amar, atau nida'
قاصص الكسولَ لا المجتهد
يا بن الأكارمِ لا ابنَ السفلة
c. tidak ada kecocokan antara ma'thuf dan ma'thu alaih:
contoh yang tdk boleh
اشتريتُ حقلا لا أرضا
aku membei lapangan bukanlah bumi.
tidak boleh karena lapangan jg merupan bumi
d. Laa tidak bersamaan dengan harf athaf yang lain 
e. Laa tidak di ulang-ulang

3. Laa an Naafiyah 
= masuk pada fi'il madhi dan wajib ada pengulangan
لا أكَل ولا شَرِبَ
= masuk pada fi'il mudhori', boleh di ulang dan boleh juga tanpa di ulang
زيد لا يأكل
زيد لا يأكل ولا يشربُ
Laa: harf yang tidak beramal, tdk mempunyai mahal i'rob dan mabni sukun

4. Laa nafi yang beramal spt Laisa (laa hijaziyyah: karena anggapan beramalnya hanya menurut ahli hijaz)

Kerjanya:
Merafa'kan mubtada' dan menasabkan khobar

syarat kerjanya:
a. Antara Laa dan isimnya tidak ada pemisah (salain dhorof, jar majrur yang menjadi ma'mulnya khobar)
لا عليك أحد معتدياً
laa: harf nafi, mabni sukun, dan beramal spt laisa
'alaika : ('alaa): harf jar yang terkait (ta'alluq) dg mu'tadiyah, (kaf) : dhomir muttasil, mabni fathah,mahal jar
ahadun: isimnya 'Laa', dirafa'kan dg dhommah
mu'tadiyyan: khobarnya 'laa', dinasabkan dengan fathah.
b. Nafinya tidak di rusak oleh " illaa", karena perusakan nafii akan menjadi mustbat
c. laa tidak di ulang. karena menafikan nafi jadi mutsbat
d. setelahnya tidak tambah إنْ
e. isim dan khobarnya adalah nakiroh:

5. Laa untuk menafikan jinis.
= adl huruf yang masuk pada jumlah ismiyah, beramal seperti "inna", berfungsi menafikan khobar dari jinis yang jatuh setalahnya secara sempurna (tidak ihtimal/ adanya kemungkinan2 lain)

لا رجلَ في الدَّارِ
laa rojula fii ad-Daari
maksudnya:
tidak ada seorangpun (entah satu, dua, atau banyak) yang berada di dalam rumah

--- Apa perbedaannya dengan laa yang beramal sperti laisa

لا رجلٌ في الدار
laa rojulun fi ad-Daari
ini boleh dimaksudkan
laisa ahadun min jinsi ar rijaali fi ad-Daari
dan juga boleh dimaksudkan
laisa rojulun waahidun fi ad-Daari
-----
sementara pd laa li nafyi al jinsi, hanya ada makna penafian jinis secara sempurna

*untuk laa model ini, ada bab sendiri, coba cari pembahasannya di documen*

6. laa al jawaabiyyah
= adalah huruf untuk menafikan jawaban, mabni sukun, dan tidak mpnyai mahal dlm i'rob

أقابلتَ المعلمَ ؟ -لا ,, اي . لا, لم أقابلْه

---Tambahan--->> laa zaidah ﻻ الزائدة الداخلة فى الكلام لمجرد تقويته وتوكيده نحو ما منعك إذ رأيتهم ضلوا أن ﻻ تتبعنى ما منعك أن ﻻ تسجد ويوضحه الآية الأخرى ما منعك أن ﻻ تسج 
Tentang Pembuangan "laa"
حذف لا النافية وغيرها يطرد ذلك فى جواب القسم اذا كان المنفى مضارعا نحو تالله تفتؤ تذكر يوسف ويقل مع الماضى كقوله : 
فان شئت آليت بين المقا * م والركن والحجر الاسود 
نسيتك مادام عقلى معى * أمد به أمد السرمد

 ويسهله تقدم ﻻ على القسم كقوله :
فلا والله نادى الحى قومى

وسمع بدون القسم كقوله
وقولى اذا ما أطلقوا عن بعيرهم * يلاقونه حتى يؤوب المنخل 

وقد قيل به فى يبين الله لكم أن تضلوا أى لئلا وقيل المحذوف مضاف أى كراهة أن تضلو

bacaan: al mu'jam al mufassol fi al lughot wa al adab & mugni labib